Pakaianku, kebahagiaanku

Beberapa hari ini, aku rajin memperhatikan kakak-kakak ke mushala kampus. Mereka terlihat anggun dengan jilbab lebarnya. Saat mereka berjalan bersama-sama, aku sampai terkesima dibuatnya. Aku pun heran, entah apa yang membuat pemandangan itu begitu menarik. Terutama di siang hari yang panas. Saat mereka melintas kelasku, seakan-akan panas yang terik menjadi lebih teduh. 


Lepas jam kuliah, aku langsung menuju musala kampus. Seperti biasa, aku punya kebiasaan menanti jam salat zuhur. Tak banyak teman yang senang ke musala. Mereka lebih suka langsung pulang saja. Atau lebih memilih duduk di bangku koridor kampus.


Sendirian. Duduk ambang pintu. Seorang kakak kelas memakai jilbab lebar dan baju panjang tersenyum setelah mengucapkan salam. Aku lama menjawab salamnya. Sibuk memperhatikan jilbab dan gamis yang terlihat serasi di tubuhnya.


"Wa-alaikumussalam," jawabku terbata.


Sang kakak mengulurkan tangan padaku. Kusambut tangan berjari lentik itu dan memasang senyum termanis yang kumiliki.

Ternyata, selain anggun, mereka juga amat ramah. Padahal, aku pernah mendengar info dari teman sekelas ku, kata mereka Kakak-kaka berjilbab lebar dan bergamis itu sangatlah eksklusif. Kini, aku membuktikan sendiri, mereka amatlah ramah. Setidaknya bagiku. Mahasiswa baru di kampus ini.


"Sendirian, Dek," tanyanya saat duduk di sisiku. 


"Iya, Kak" sahutku.


"Oh iya, kita belum kenalan, nama Kakak Latifa, nama kamu siapa?" tanya Sang Kakak.


"Nama aku Raisa, Kak," jawabku.


Memang benar-benar ramah. Jauh dari kesan tertutup sama sekali. Buktinya, mereka duluan yang ajak aku bicara.


Kami pun lama mengobrol, sampai azan zuhur berkumandang. Kak Latifa mengajakku ikut kajian muslimah selepas shalat zuhur. Aku mengiyakan. Sebenarnya mau menolak, karena aku tak pernah ikut kajian. Malu. Tapi aku sungkan. Mana mungkin aku mengecewakannya saat perkenalan pertama kami. Sungguh aku teman yang buruk bila melakukan itu.


Aku pun mengikuti kajian. Kajiannya tentang seberapa indah muslimah? Sukses membuatku tertohok. Ternyata, itu sebabnya kakak-kakak yang sering ke musala itu memakai pakaian lebar-lebar. 


Berhari-hari aku menjadi galau setelah mengikuti kajian muslimah itu. Aku masih dengan jilbab persegi seadanya, baju kaus panjang dan juga celana jins ini merasa bersalah dan tak nyaman lagi memakai pakaian kebanggaan ku. Sebuah pepatah mengatakan, ala bisa karena biasa. Apa yang salah, bukankah aku telah terbiasa memakainya. 


Aku memang sering ke musala. Entah apa yang membuatku nyaman di sana. Kalau dibilang karena banyak pepohonan rindang, di taman kampus atau di dekat koridor juga banyak pohon rindang.


Tetapi arah langkahku selalu mengantarkan ke musala. Ayahku pernah bilang, "apa salahnya ke mushalla. Biarkan saja orang menilaimu fanatik hanya karena ke musala. Kalau bukan kita yang fanatik, siapa lagi." Kalimat beliau semakin menguatkan ku rajin mampir di musala. Walau hanya sekedar numpang baca buku di sana. 


Dan aku bahagia. Seperti mendapatkan ketenangan saat duduk di lantainya yang sejuk. Apalagi berkumpul bersama kakak-kakak berjilbab lebar. Semakin membuatku nyaman. Karena mereka tidak bergosip dan pembicaraan mereka seputar kegiatan musala dan sosial. 


Aku semakin larut dengan pertemanan ku dengan mereka yang berjilbab lebar. Sehingga kemana-mana, aku sering ikut mereka. Mereka tak pernah memaksaku berpakaian seperti mereka. Namun, terkadang aku sendiri yang tidak nyaman memakai celana panjang. Walau jilbabku tak selebar jilbab mereka, kini perlahan aku mulai memakai rok ke kampus. 


"Wah, Raisa cantik sekali," tegur Kak Latifa saat pertama kali melihat aku memakai rok. 


"Iyakah, Kak? Apa Raisa memang cocok pakai rok begini, Kak?" tanyaku sambil menarik rok ke samping.


"Cocok. Siapa bilang nggak cocok. Semua perempuan cocok pakai rok," jawab Kak Latifah. 


"Lalu, bagaimana dengan jilbab, apa harus Soleha dulu baru pakai yang lebar?" tanyaku ingin tahu.


"Nggak juga. Justru dengan memakai jilbab lebar kau akan tampak soleha, sembari memperbaiki diri. Istilahnya learning by doing, hihihi," jelas Kak Latifah.


"Apa jilbabnya mesti selebar Kakak?" Aku semakin ingin tahu. 


" Tentu tidak. Asalkan menutup dada itu sudah baik, kok" jawab Kak Raisa semakin membuatku lebih tentram. Setidaknya, aku tak perlu merogoh kocek untuk membeli jilbab baru. Cukup jilbab lama yang kupakai kuulurkan saja ke dada. Tidak aku lilit ke leher seperti biasa.


Dan, hari-hari berlalu. Kini aku sudah tidak.merasa risih lagi saat berkumpul di musala bersama mereka. Hatiku ternyata lebih tentram memakai rok dan jilbab yang terulur. Lebih nyaman. Tidak perlu lagi merasa risih saat melewati cowok-cowok yang nongkrong di koridor. Aku merasa lebih segar dan bahagia. Syukurlah saat itu aku mendengar kata hatiku agar meluangkan waktu shalat zuhur di musala. Ternyata, rahasianya adalah hidayah untukku.

 












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hokben, Pilihan Keluarga Kita

Menjadi Mentor Menulis

Liburan ke Takengon