Jangan Abaikan Anak

Anak-anak yang sering ditolak, perasaannya diabakan, akan tumbuh menjadi anak tanpa rasa empati. Bisa meniru, tak bisa merasa. Itulah yang aku lihat dari NF.

Entah ada berapa banyak anak yang hidup dalam pengabaian orang tua. Faktanya, walau anak tersebut bukan hidup bersama ibu tiri, dengan ibu kandungnya saja kadang ada yang diabaikan. 

Sebutlah namanya Bunga. Aku sering sedih dengar ceritanya. Hidup dalam kesepian seperti hidup tanpa ayah, ibu dan saudara. Padahal ia punya kakak perempuan. Ayah dan ibu juga ada. Di rumah, ayah tiri juga ada. Namun tak seorang pun peduli pada Bunga. Anak kelas 1 SMP yang semestinya masih butuh amat banyak perhatian dan tuntunan. 

Ayah kandung, sibuk bekerja. Ayah tiri apalagi. Ibu, pergi pagi sekali sebelum Bunga bangun bahkan. Kakak, tak pernah menganggap gadis yang baru tumbuh itu ada. Pulang dan pergi sesukanya tanpa sepatah kata pun.

Bunga, pergi sekolah selalu terlambat diantar oleh seorang yang dibayar untuk mengantar jemputnya. Tugas sekolah dia nggak peduli. Ke sekolah aja kadang bisa jadi batal. Ia seperti nggak pernah bersemangat melakukan apapun. 

Pernah, suatu ketika ia sangat ingin pulang bersama ibunya. Ia yakin sang ibu pasti sudah pulang kantor jam 6. Ia minta si pengantar-jemputnya ke sekolah untuk pulang saja. 

Ia pun menelpon sang Ibu. Namun, kemudian, si pengantar-jemputnya ini tak tega meninggalkan Bunga yang kini berlinang air mata. Ternyata, di seberang sana, ibunya tak bisa menjemputnya dan akan pulang malam hari.

Duhai ibu, duhai ayah. Jangan bilang kalau kita bekerja untuk anak. Kalau mereka saja kita abaikan. Mungkin lebih tepatnya sebaliknya. Kita mengabaikan mereka karena cinta pekerjaan. Khawatir hidup kekurangan. Dan keberadaan anak hanyalah pelengkap kehidupan. Semacam tanda sah, bahwa kita sudah juga bisa punya anak. 

Sepele memang. Tapi, ketahuilah. Bila kita tak hadir untuk mereka. Zaman sekarang ada banyak hal yang rela menemani mereka. Anak-anak kita sebenarnya sudah dikepung oleh teknologi. Peran kita bisa saja terganti dengan mudah. Dan mereka tidak perlu memilih. Karena yang lebih sering bersama mereka adalah yang lebih berarti dan layak untuk mereka gugu dan tiru. 

Jangan menyesal, kalau nanti anak kita menjadi anak yang berhati zombie. Ada, tapi tak bisa merasa. Ia hanya ingin merusak. Lebih senang orang lain terluka dari pada bahagia. Tak mungkin pula bila orang itu adalah kita sendiri, orangtuanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hokben, Pilihan Keluarga Kita

Menjadi Mentor Menulis

Liburan ke Takengon