NKMATNYA MASAM JING DI TEPI DANAU LAUT TAWAR

'Daerah Aceh, tanoh lon sayang, nibak tempatnya lon udep mate'

'Tanoh keneunah Indatu moyang, lampoh dengeun jrat kuah bukon le'

***

Di atas adalah penggalan lagu yang menggambarkan kecintaan akan Aceh.

Artinya adalah daerah Aceh, tanah yang kudatang. Di sanalah kuhidup dan mati.

Tanah peninggalan nenek moyang, lahan dan ladang luas sekali.

***

Hamparan tanah di Aceh, memang sangat luas dan semuanya memiliki potensi luar biasa. Bai di dalam tanah sekalipun, tak ada yang dapat memungkiri betapa Aceh itu memiliki kekayaan yang luar biasa.

Di samping kekayaan isi tanah yang sampai dikenal hingga ke luar negeri, Aceh juga memiliki keindahan alam yang memesona.

Tak perlu repot harus pergi ke daerah wisata yang jauh dulu kalau berada di Aceh, karena setiap sisi daerahnya, indah dari segi manapun kita memandang. Jadi untuk memandang yang indah-indah di Aceh, tidak butuh biaya mahal. Hanya perlu isi bensin motormu dan pergilah keluar, walaupun berdiri di jembatan Cot Irie dekat rumah saya yang fenomenal dengan hamparan sawah dan kolam ikan nila yang bersisian dengan sungai.

Kalau mau agak jauh, kita bisa bepergian ke daerah pengunungan yang berada di tepi Danau Lut Tawar, yaitu tanah Gayo di Takengon. 

Jalan menuju ke sana lumayan jauh kalau dari Banda Aceh. Kita harus menempuh waktu selama 5 jam ke kota Bireun dan naik lagi ke Gayo selama 3-4 jam kalau tidak macet dan ada kendala apa-apa.

Sepanjang perjalanan ke sana, kita akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Hamparan sawah, ladang dan perbukitan menjadi pemandangan yang menyejukkan mata dan hati. Bunga-bunga yang mengiringi kita di sepanjang jalan juga sangat menawan. Hal ini semakin menambah kesan bahwa Gayo adalah tempat wisata yang paling berkesan di Aceh bagi saya. 

Dahulu, bunga-bunga tumbuh mekar cukup banyak sepanjang jalan di tepi hutan Pinus. Namun, sekarang kita akan menemukan bunga hanya ketika bertemu rumah warga saja. 

Dari kota Takengon, nantinya kita bisa mencari jalan ke danau Lut Tawar. Kami sempat berkeliling sepanjang danau. Lumayan juga, menghabiskan waktu setengah harian. 

Di sana ada air terjun Niagara, jalan masuk ke sana agak curam juga. Mungkin itu sebabnya pula, belakangan tempat itu sepi pengunjung dan sudah tidak terawat. Padahal, air terjunnya amat jernih dan sejuk. Ada jalan setapak menanjak juga di sana. Anak saya, dua kali ke situ, dua kali pula i terjatuh di jalan setapak itu karena berlari. Hati-hati ya, kalau bawa anak. Tidak bisa dibiarkan lari-lari di jalan setapak itu. Kalau ada apa-apa puskesmas serta tempat pengobatan amat jauh dari situ. Duh, terbayang saya bagaimana kalau penduduk sekitar situ sakit.

Setelah capek jalan-jalan, kami mampir ke restauran yang banyak berjejalan di pinggir danau. Pilihan kami jatuh kepada restauran One-One. Kami masuk dari samping dan kemudian menuju halaman paling belakang yang ternyata adalah danau Lut Tawar. Ada jalan setapak di atas air yang menghubungkan antara resto dan sebuah Sawung tempat makan keluarga. 

Asyik ya, sambil makan sambil lihat pemandangan danau dan ikan-ikan di dalamnya. 

Tak berapa lama, pesanan kami datang. Saya memesan ikan nila bakar dan juga asam jeng. Asam Jeng ini khas Gayo banget. Bumbunya terdiri dari cabe rawit, cabe merah kering, bawang merah, bawang putih, belimbing sayur yang telah dikeringkan ( ini di tempat saya dinamakan sunti)  dan juga daun jeruk. Setelah semua bumbu dicampur dengan ikan lalu dimasak. Ketika dihidangkan, jangan lupa taburkan bawang goreng ya. 

Yang membuat masakan ini khas, adalah belimbing suntinya. Sepertinya hanya di Aceh daerah yang menggunakan belimbing kering sebagai bahan masakan. Hampir semua masakan di Aceh mengandung asam Sunti yang terbuat dari belimbing kering ini. Konon, kabarnya belimbing kering ini semakin langka keberadaannya dan semakin mahala harganya. Dahulu, tiap rumah mempunyai pohon belimbing sayur dan warga mengolahnya sendiri. Namun kini, seinring perkembangan zaman dan kesibukan pekerjaan yang semakin meningkat, kita tidak akan menemui lagi orang-orang yang menjemur belimbing di depan rumah. Jadilah kita harus membeli Sunti ini di pasar dengan harga mahal dan juga keberadaannya yang mulai langka.

Cukup dulu cerita suntinya, yuk kita nikmati ikan masak asam jeng. Wah saya jadi kangen mau ke Takengon lagi akhir pekan ini. 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hokben, Pilihan Keluarga Kita

Menjadi Mentor Menulis

Liburan ke Takengon